Minggu, 20 Juli 2008

Emas dan Loyang


Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi yang tersohor
bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, "Guru,
saya belum paham mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa
adanya,
amat sangat sederhana. Bukankah di zaman ini berpakaian necis amat
perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk tujuan banyak hal
lain." Sang sufi hanya tersenyum; ia lalu melepaskan cincin dari salah
satu jarinya, lalu berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu,
tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan
bawalah ke pasar di seberang sana. Cobalah, bisakah kamu menjualnya
seharga satu keping emas."



Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, "Satu
keping
emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu."
"Cobalah dulu sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada
pedagang
kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang
lainnya.
Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas.
Mereka
menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani
menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan
Zun-Nun dan melapor, "Guru, tak seorang pun yang berani menawar lebih
dari satu keping perak."

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu
ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik
toko
atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana
ia memberikan penilaian." Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang
dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia
kemudian melapor, "Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu
nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan
harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih
tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, "Itulah jawaban atas
pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari
pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang
menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas". Emas dan permata
yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika
kita
mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk
menjenguknya.
Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya
hanya
dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas.
Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat
sebagai loyang ternyata emas."

0 komentar:

Posting Komentar