Sabtu, 19 Juli 2008

Kisah Pohon Apel


Suatu masa dahulu, terdapat sebatang pohon apel yang
amat besar. Seorang kanak-kanak lelaki begitu gemar
bermain-main di sekitar pohon apel ini setiap hari.
Dia memanjat pohon tersebut, memetik serta memakan
apel sepuas-puas hatinya, dan adakalanya dia
beristirahat lalu terlelap di perdu pohon apel
tersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangi
tempat permainannya. Pohon apel itu juga menyukai anak
tersebut.



Masa berlalu... anak lelaki itu sudah besar dan
menjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskan
masanya setiap hari bermain di sekitar pohon apel
tersebut. Namun begitu, suatu hari dia datang kepada
pohon apel tersebut dengan wajah yang sedih.
"Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohon
apel itu.
"Aku bukan lagi kanak-kanak, aku tidak lagi gemar
bermain dengan engkau," jawab remaja itu.
"Aku mahukan permainan. Aku perlukan wang untuk
membelinya," tambah remaja itu dengan nada yang sedih.
Lalu pohon apel itu berkata, "Kalau begitu, petiklah
apel-apel yang ada padaku. Juallah untuk mendapatkan
uang. Dengan itu, kau dapat membeli permainan yang kau
inginkan."
Remaja itu dengan gembiranya memetik semua apel di
pohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagi
selepas itu. Pohon apel itu merasa sedih.
Masa berlalu...
Suatu hari, remaja itu kembali. Dia semakin dewasa.
Pohon apel itu merasa gembira.
"Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohon
apel itu.
"Aku tiada waktu untuk bermain. Aku terpaksa bekerja
untuk mendapatkan uang. Aku ingin membina rumah
sebagai tempat perlindungan untuk keluargaku. Bolehkah
kau menolongku?" Tanya anak itu.
"Maafkan aku. Aku tidak mempunyai rumah. Tetapi kau
boleh memotong dahan-dahanku yang besar ini dan kau
buatlah rumah daripadanya." Pohon apel itu memberikan
cadangan.
Lalu, remaja yang semakin dewasa itu memotong kesemua
dahan pohon apel itu dan pergi dengan gembiranya.
Pohon apel itu pun turut gembira tetapi kemudiannya
merasa sedih karena remaja itu tidak kembali lagi
selepas itu.
Suatu hari yang panas, seorang lelaki datang menemui
pohon apel itu. Dia sebenarnya adalah anak lelaki yang
pernah bermain-main dengan pohon apel itu. Dia telah
matang dan dewasa.
"Marilah bermain-mainlah di sekitarku," ajak pohon
apel itu.
"Maafkan aku, tetapi aku bukan lagi anak lelaki yang
suka bermain-main di sekitarmu. Aku sudah dewasa. Aku
mempunyai cita-cita untuk belayar. Malangnya, aku
tidak mempunyai boat. Bolehkah kau menolongku?" tanya
lelaki itu.
"Aku tidak mempunyai boat untuk diberikan kepada kau.
Tetapi kau boleh memotong batang pohon ini untuk
dijadikan boat. Kau akan dapat belayar dengan
gembira," kata pohon apel itu.
Lelaki itu merasa amat gembira dan menebang batang
pohon apel itu. Dia kemudiannya pergi dari situ dengan
gembiranya dan tidak kembali lagi selepas itu. Namun
begitu, pada suatu hari, seorang lelaki yang semakin
dimamah usia, datang menuju pohon apel itu. Dia adalah
anak lelaki yang pernah bermain di sekitar pohon apel
itu.
"Maafkan aku. Aku tidak ada apa-apa lagi untuk
diberikan kepada kau. Aku sudah memberikan buahku
untuk kau jual, dahanku untuk kau buat rumah, batangku
untuk kau buat boat. Aku hanya ada tunggul dengan akar
yang hampir mati..." kata pohon apel itu dengan nada
pilu.
"Aku tidak mahu apelmu kerana aku sudah tiada bergigi
untuk memakannya, aku tidak mahu dahanmu kerana aku
sudah tua untuk memotongnya, aku tidak mahu batang
pohonmu kerana aku berupaya untuk belayar lagi, aku
merasa lelah dan ingin istirahat," jawab lelaki tua
itu.
"Jika begitu, istirahatlah di perduku," kata pohon
apel itu.
Lalu lelaki tua itu duduk beristirahat di perdu pohon
apel itu dan beristirahat. Mereka berdua menangis
kegembiraan.
Tersebut. Sebenarnya, pohon apel yang dimaksudkan di
dalam cerita itu adalah kedua-dua ibu bapa kita. Bila
kita masih muda, kita suka bermain dengan mereka.
Ketika kita meningkat remaja, kita perlukan bantuan
mereka untuk meneruskan hidup. Kita tinggalkan mereka,
dan hanya kembali meminta pertolongan apabila kita di
dalam kesusahan. Namun begitu, mereka tetap menolong
kita dan melakukan apa saja asalkan kita bahagia dan
gembira dalam hidup.
Anda mungkin terfikir bahwa anak lelaki itu bersikap
kejam terhadap pohon apel itu, tetapi fikirkanlah, itu
hakikatnya bagaimana kebanyakan anak-anak masa kini
melayan ibu bapa mereka. Hargailah jasa ibu bapa
kepada kita. Jangan hanya kita menghargai mereka
semasa menyambut hari ibu dan hari bapa setiap tahun.

0 komentar:

Posting Komentar